Prasangka.


“Semoga kamu selalu mendapatkan yang terbaik dari segala yang paling baik…”

Cuma kalimat itu yang aku dengar di akhir pertemuan dengannya beberapa tahun lalu. Jauh sebelum kami berubah kembali menjadi asing. Aneh memang.
Sempat ku tanyakan pada diriku sendiri berkali-kali, benarkah hanya itu kata-kata penutup yang dia suguhkan. Sayangnya pertanyaan itu hanya untuk diriku saja, tidak ku hadiahkan padanya.
Aku terlalu takut, mungkin.
Takut jika memang tidak ada lagi kalimat yang ingin dia katakan sebagai pemanis.
Perempuan itu menjadi satu-satunya orang yang membuatku ketakutan akan hal bernama penolakan.
Semua penolakan darinya adalah hasil dari sebab akibat yang sudah ku perbuat.
Dan mau tidak mau semua memang harus ku terima.
Tidak cukup layak buatku kembali merusak kehidupan perempuan yang ku sayangi.

Gendis, nama perempuan itu.
Dia adalah tipikal pribadi yang sangat keras kepala, hampir sama sepertiku. Tapi dia lebih.
Kami hampir kehilangan akal sehat setiap kali berseteru. Sekalipun hanya karena hal sepele.
Tidak jarang kami jadi saling diam dalam beberapa waktu. Kemudian dia akan menjelaskan semua isi kepalanya yang begitu mengganggu, menurutnya.
Aku diam mendengarkan, jika nalarku benar.
Lain cerita jika memang kami berselisih begitu jauh. Tidak jarang akan lebih banyak suara tinggi dan diakhiri tangisan Gendis yang kewalahan berseteru denganku.
Itu artinya aku harus segera menurunkan egoku, ku peluk dia dengan membisikkan kata maaf.
Dan kami akan larut dalam penyesalan masing-masing.
Ah sial, aku memilih ingin mengulang semua perdebatan itu saja rasanya dibanding dengan keadaan kami sekarang.
Gendis mungkin tidak akan pernah tau jika sampai sekarang pun aku kerap menangisi sikapnya pada malam itu.
Yaa, kata siapa lelaki tidak bisa menangis?

Aku sangat menyesal sudah menyia-nyiakan orang yang bisa menerimaku apa adanya. Terlepas dari semua kelam masa laluku yang membuat beberapa perempuan berpikir lebih dari tiga kali untuk ku dekati. Tidak pada Gendis.
Dia tetap ada di sampingku ketika tau aku adalah orang yang sangat bermasalah.
Berbeda dengan perempuan yang mencuri perhatianku dari Gendis.
Perempuan yang ku kejar ketika Gendis siap menghabiskan sisa hidupnya denganku.
Perempuan yang menjadikanku pelarian dari masa patah hatinya.
Perempuan yang membuatku sama buruknya bersikap pada orang lain.
Gendis tidak bisa menerima itu semua.
Dia melepaskanku untuk pergi.


------------------------------------------------------------------------------------------


Sejak awal kami bertemu, dia sangat mengganggu pikiranku.
Dan dia adalah orang pertama yang membuatku salah tingkah pada orang baru.
Padahal selama ini predikatku di kalangan teman-teman ataupun keluarga adalah sebagai ‘muka badak’.
Kepada siapapun aku selalu Sok Kenal Sok Dekat, bodoamat orang baru kenal atau belum kenal sekalipun.
Tapi dia berbeda, auranya sangat menarik perhatianku sedari awal.
Gandhi. Lelaki yang terpaut umur lebih tua dariku beberapa tahun. Setara Abangku.

Empat tahun lalu kami memutuskan untuk bersama. Setelah masa pendekatan yang hampir memakan waktu satu tahun. Rasanya aneh membagi waktu dengan orang lain secara prioritas yang lebih dari sekedar teman. Dan Gandhi bukan salah satu dari temanku.
Kami hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu di acara musik akhir tahun pada satu pantai di Bali. Kemudian berkenalan karena kami saling tatap berkali-kali.
Segampang itu.

Lelaki itu, si menyebalkan.
Dia memporak-porandakan semua rasa percayaku setelah sekian tahun kami bersama.
Ada rasa sedikit menyesal kenapa dulu aku memilih untuk memutuskan bersama dengan Gandhi sebagai lebih dari sekedar teman. Tapi, aku kembali merutuki diri sendiri. Menyesali apapun itu tidak akan  memperbaiki apapun di antara kami.
Aku masih tidak habis pikir kenapa Gandhi bisa dengan mudah membuka bagian hatinya untuk orang asing yang baru dia kenal.
Hahaha naif sekali aku ini.
Ingin  rasanya mencaci diriku sendiri berkali-kali ketika aku menyadari Gandhi tidak bisa memilih untuk meyakinkan jika hubungan kami mampu bertahan.
Dia tidak yakin akan dirinya sendiri.
Dan aku sadar betul, itu adalah awal aku kehilangan Gandhi seutuhnya.

Gandhi tau pasti aku menyayanginya lebih dari apapun yang pernah aku sayangi.
Tidak ada mantan kekasihku yang mampu bertahan dengan semua ‘keanehan’ yang aku miliki.
Gandhi satu-satunya yang bertahan dengan banyak masalah yang ku ciptakan di duniaku.
Dia bertahan di antara semua badai yang selalu datang.
Emosiku yang tidak stabil. Moodku yang selalu kacau hampir di tiap hari.
Tidak ada satu haripun ku lalui tanpa menggerutu, mengumpat, dan berteriak.
Aku hanya lebih sedikit agresif daripada orang lainnya.
Lelaki mana yang mampu bertahan dengan perempuan sekasar batu asah macam aku, ini kata-kata dari Abangku.
Tapi Gandhi bertahan.
Selama lima tahun enam bulan tujuh belas hari.
Sebelum dia mengenal perempuan asing yang tidak kami kenal.
Gandhi tidak hanya berniat mengenal perempuan itu. Dia juga memikirkannya diam-diam tanpa sepengetahuanku.
Berhari-hari. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun.
Sampai akhirnya aku sadar, Gandhi tidak lagi berpusat pada apa yang kami berdua yakini.
Dia sudah jauh tersesat pada hal baru yang dia cari.
Aku ditinggalkan di poros keyakinan semu.

“Maafkan aku, Gendis.”

Cuma itu yang ku tangkap dari ucapan Gandhi. Selebihnya samar. Kabur membaur tertutup gemuruh dalam dadaku yang bersiap meledak.
Kenyataan begitu jahat, lelaki yang ku yakini menjagaku sepenuh jiwa ternyata sedang hanyut dalam petualangannya.


(Semua nama dan kejadian adalah fiksi, maafkan jika ini sedikit menyulut rasa penasaranmu ketika kau baca. Tidak ada yang nyata di tulisan sini. Tidak ada.)

Komentar

Postingan Populer