I do.


Mungkin bagi beberapa orang aku ini aneh, di umur seperempat abadku ini tidak ada sedikitpun perasaanku ingin terburu-buru segera menikah.
Sepertinya keinginan seperti itu sudah meredup sejak berapa tahun silam, ketika aku patah hati tentunya.
Aku jadi banyak belajar dengan diriku sendiri.
Tentang penerimaan, memaafkan, berdamai. Jelas saja dengan diriku sendiri.
Ironis memang, puluhan tahun hidup baru menyadari tentang diri sendiri yang begitu kacau.
Diriku sendiri saja kaget akan kenyataan dari diri sendiri, apalagi orang lain yang sudah memilih pergi dariku.
Dari situ aku sadar penuh untuk tidak terlalu menyalahkan siapapun yang meninggalkanku di tengah perjalanan.

Aku ingin menata diriku agar lebih rapi, tidak berantakan.

Kata siapa aku tidak mau menikah?
Aku hanya menahannya sedikit tidak tergesa.
Hingga aku benar-benar siap, dan teman hidupku tentunya siap pula.
Sebenarnya dia sudah berkali-kali mengajakku untuk bersedia hidup bersama dengannya, bahkan terakhir beberapa waktu ini. Tentu saja aku bersedia.
Tapi aku lebih yakin untuk memastikan diriku mampu menjadi bagian lain dari kehidupan seseorang.
Menjadi rumahnya untuk pulang.
Menjadi temannya dalam panjangnya perjalanan.

Tanggung jawabku tidak lagi hanya untuk diriku sendiri.
Aku harus bisa memastikan teman hidupku merasa nyaman pada perjalanan kami.
Kami akan tumbuh tua bersama.
Mungkin dengan tambahan anggota keluarga baru yang akan kami sebut sebagai buah hati.
Entah dua atau tiga orang. Entah lelaki atau perempuan.

Aku sedang mempersiapkan diriku sendiri agar bisa menjadi peran ibu yang layak untuk mereka.
Jadi seorang ibu yang tidak egois, mengerti hak anak dan sadar penuh tentang bagaimana harusnya mereka hidup dan tumbuh.
Menanamkan kasih kepada mereka tanpa pamrih.

Aku hanya sedang meyakinkan diriku sendiri tentang kelak anakku adalah bukan anakku.
Mereka hanya lahir dari rahimku agar bisa melanjutkan kehidupannya sendiri.
Dengan semua jalan yang mereka yakini terbaik untuk dirinya.
Dan aku harus menyiapkan banyak bekal nilai moral kepada mereka.

Suatu hari nanti mungkin mereka akan tumbuh dewasa dan membaca sisa-sisa tulisan ini dariku di masa muda, jauh sebelum adanya mereka.
Semoga mereka paham apa alasanku menunda untuk segera menikah dan memiliki mereka. Sementara hampir semua teman sepantaranku sudah memiliki dua bahkan tiga anak, aku masih memilih untuk merapikan yang berserak.
Semoga mereka paham apa maksudku tidak terburu-buru menggendong mereka dalam dekapan, ketika mental dan finansialku masih tidak mapan.

Aku hanya ingin mereka tumbuh besar dalam kehidupan yang penuh dengan cinta.
Mereka harus bisa jadi pribadi yang sabar, persis dengan seseorang yang akan mereka panggil “Bapak”.
Jelas itu sangat mencolok dari dirimu, Sayang.
Aku hanya ingin anak-anakku kelak bisa mengerti kenapa aku memilih untuk menikahi bapaknya yang tidak seberapa itu dibandingkan dengan orang lain.
Mereka harus sadar jikalau ibu dan bapaknya sangat menyayangi mereka lebih dari apapun yang pernah ada.

Aku akan membebaskan mereka ingin menjadi seperti cita-cita yang mereka dambakan.
Mereka bebas berpendapat juga wajib saling menyayangi satu sama lain dengan semua makhluk hidup.
Tidak hanya pada manusia, pada binatang, pada tanaman, pada seisi alam.

Aku harap bisa mendidik mereka semampuku sendiri.
Tinggal di rumah kami yang hangat.
Belajar banyak pada kehidupan, tidak monoton pada ritme pelajaran bangku dan meja sekolahan.
Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan mereka sebelum akhirnya tumbuh dewasa dan memilih menjalani hidupnya masing-masing.
Aku ingin dikenang sebagai ibu yang memasakkan sarapan, makan siang juga makan malam yang rasanya luar biasa. Tidak akan mereka temui rasa masakan yang sama di tempat manapun.
Mereka akan memilih pulang dan makan di meja makan kami yang kelak mungkin berbentuk bundar, daripada makan di tempat cepat saji yang hingar bingar dengan antrean.

Di siang yang terik, akan aku ajak mereka berendam di kolam buatan, mungkin di samping rumah kami.
Aku siapkan es buah yang segar. Agar mereka selalu ingat, ibunya sangat senang bisa menghabiskan masa musim panas bersama.
Atau kami akan menyantap sup bersama di ujung petang yang hujan, kemudian saling memeluk di bawah selimut. Bercerita tentang keriuhan sepanjang hari yang sudah kami lewati.

Aku sedang mempersiapkan waktu itu tiba.
Sampai pada saatnya aku dan keluarga kecilku kelak bisa berlibur bersama ke pantai terdekat dari kota kami tinggal. Menghabiskan akhir pekan dengan bermalas-malasan.




Komentar

Postingan Populer