Nostalgia Kehilangan.
Sudah lama aku tidak menangis tersedu-sedu hingga dadaku
rasanya sesak.
Seperti ada banyak hal yang harus kutumpahkan melalui air
mata saat itu juga.
Sebagian hati kecilku mungkin masih belum mengakui
perpisahan itu telak tersisa pada kami, aku dan Abah.
Berbulan-bulan yang lalu Papermoon Puppet mengabarkan
kalau mereka akan tampil di Jogja, setelah sekian lama mereka melanglang buana
di berbagai negara.
Aku hanya memantau updatean mereka melalui sosial media. Menunggu
kapan hari yang mereka wacanakan tiba.
Dan ternyata tanggal 21 sampai 23 Juni adalah hari
pembelian secara online dan offline.
Jujur saja, aku kehabisan tiket selama 3 hari.
Sampai putus asa rasanya.
Dan cuma bisa melihat postingan mereka yang ramai di lini
masa.
Tanpa terduga, salah satu tim dari Papermoon Puppet yang
bernama Mbak Riessa membalas komentarku di postingan akun official. Beliau mengabarkan
ada tiket offline yang bisa kubeli apabila berminat. Jelas saja kuiyakan
tawaran beliau. Sungguh sangat gembira hatiku saat itu.
Padahal badan sedang kurang fit, panas dingin sedikit
demam.
Pertunjukan teater yang sangat ku idam-idamkan, akhirnya
bisa kutonton.
Aku berangkat sendiri ke tempat acara berlangsung.
Sore Sabtu yang sedikit berangin.
Sejam sebelum pertunjukan dimulai aku sudah sampai.
Perasaanku tidak karuan. Sebelum menonton secara live
saja aku sudah berkali-kali menyeka air mata.
Padahal yang kutonton hanya sekedar cuplikan atau caption
di Instagram saja.
Entah, rasanya sangat mengharu biru.
Sampai pada akhirnya pintu ruangan teater dibuka.
Aku dapat seat nomer dua dari depan area pertunjukan. Sangat
dekat.
Sedari awal pertunjukan sudah kusiapkan tisu yang kubawa
dari kost di tanganku.
Sungguh rasanya dadaku penuh dengan perasaan yang tidak
bisa aku jelaskan.
Saat Tala, si gadis kecil manis anak dari Papa Puno
memulai awal cerita dengan begitu apik.
Tala yang manja pada Papa Puno.
Meminta dibelikan es krim.
Mencium pipi kanan Papa Puno.
Berdua berteduh dalam satu dekap yang sama ketika hujan.
Aku seperti bernostalgia pada perasaan yang sama ketika
masih memiliki Abah.
Walau tidak semanis Tala, aku tetap anak perempuan manja
pada lelaki pertama yang kusayangi.
Dan di awal pertunjukan aku sudah harus menghapus
pelan-pelan air mataku ketika sesekali tingkah Tala kepada Papa Puno semakin
membuatku rindu rasanya memiliki Abah.
Gelak tawa pecah saat Tala menggoda Papa Puno yang
melirik gadis cantik.
Mereka berdua sangat hangat.
Sampai saatnya klimaks cerita mulai terbaca, awan merah
muda menghampiri Papa Puno berkali-kali.
Mengajaknya pergi.
Tentu saja Tala tidak tau.
Di situ tangisku pecah sejadi-jadinya.
Tala kecil sama persis denganku 7 tahun yang lalu.
Ditinggal pergi tanpa pamit. Tanpa salam perpisahan.
Aku biarkan dadaku naik turun mengatur tangisku yang
mulai tidak karuan.
Rasanya pedih sekali.
Dan aku sadar, selama ini aku masih menyimpan semua
kesedihanku seorang diri.
Tidak pernah benar-benar menerima begitu saja berpisah
dengan Abah.
Selama 7 tahun, aku tidak pernah punya alasan yang tepat
kenapa harus menangisinya. Menangisi ditinggal Abah.
Sampai akhirnya aku menonton Tala dan Papa Puno.
Ternyata ada banyak hal yang sangat ingin aku ceritakan
padanya.
Banyak kalimat yang ingin kusampaikan. Termasuk salam
perpisahan.
Semua kenangan dengan Abah berputar-putar di ruangan IFI
Sagan saat itu.
Aku yang dulu tiap mau tidur selalu diayunnya dengan
senandung yang cuma kami berdua hafal.
Aroma tubuhnya yang dulu sangat kusukai, apalagi ketika
Abah belum mandi.
Dekapannya tiap aku demam tinggi.
Semua eksperimen masakannya yang walaupun aneh tapi
rasanya tetap enak.
Caranya bercerita tentang apa saja, Abah sangat suka
bercerita.
Semua keinginanku selalu dituruti, selalu membelikan apa
yang aku mau.
Abah tau persis aku sangat menyukai buah-buahan.
Tiap kali Abah pulang dari Long Bagun, pedalaman
Kalimantan Timur, Abah selalu menghadiahiku buah-buahan lokal dari sana.
Selalu memelukku ketika ingin bepergian jauh.
Rela mengayuh sepeda mengantarkan bekal makan siang
ketika aku les sampai sore waktu SD, padahal Abah memiliki vertigo akut.
Mengajakku berbelanja ke pasar Ramadhan di kota kami,
membeli sirup ABC rasa anggur kesukaannya.
Atau berbelanja pakan burung di Minggu pagi.
Semua kenangan itu mengitariku di antara pertunjukan Tala
yang tengah kebingungan merasa ditinggal begitu saja oleh Papa Puno.
Persis aku 7 tahun yang lalu, di suatu pagi pertengahan
bulan Februari.
7 tahun yang lalu, Abah pergi.
Sehari sebelumnya, aku dan Mas Imam membersihkan badan
Abah yang tengah luka basah akibat terlalu lama tiduran. Iya, Abah stroke dan
tidak bisa melakukan aktivitas apapun selama kurang lebih 2 tahun.
Setiap hari aku dan saudara-saudaraku mengganti popoknya,
memandikan, mengganti baju, menyuapi, mengajaknya berbincang, menawarinya
cemilan apa yang diinginkan.
Selama strokenya, daya ingat Abah semakin
parah.
Memorinya banyak yang hilang.
Abah menjadi seperti orang asing.
Beliau tidak ingat aku dan 3 saudaraku yang lainnya. Abah cuma ingat Farah, adik bungsuku yang
perempuan.
Aku sudah tau rasanya dilupakan, bahkan oleh orang yang
hampir separuh umurnya hidup denganku.
Sampai pada saatnya tiba, Abah kolaps ketika sedang
kuganti perban dan popoknya. Siang sekitar jam 14.00.
Tentu aku masih ingat detailnya. Awalnya Abah baik-baik
saja, walaupun aku dan Mas Imam dipanggil dengan nama “Farah”.
Luka di punggungnya menganga, yang membuatku kaget adalah
ketika cairan berwarna merah kehitaman tiba-tiba meluncur deras ke arah
tanganku yang sedang memegang botol infus. Iya, aku dan Mas Imam membersihkan
lukanya dengan infus. Dan posisi badan Abah sedikit kami miringkan ke arah kanan.
Tentu saja aku kaget bukan kepalang, tapi Mas Imam
menyuruhku tetap tenang, katanya, kita sudahi saja membersihkan luka. Aku menurut.
Abah kembali kami telentangkan sejajar, kata Mas Imam
Abah sedang serangan stroke.
Benar saja, suara Abah berbunyi “grrrrk grrrrrk…”
berkali-kali tersengal.
Bola matanya terbalik. Semua putih.
Aku yang awalnya mencoba tenang ternyata akhirnya kacau
juga. Tanganku gemetar, kupanggil semua anggota keluarga. Kami semua bingung.
Sebenarnya firasatku sudah memberi sinyal, ini saatnya
Abah pulang setelah sekian waktu menunggu.
Tapi kuenyahkan semua firasat itu.
Semalam suntuk semua anggota keluarga bergantian menjaga
Abah.
Semua teman-teman terdekat Abah juga datang.
Mereka saling melafalkan ayat-ayat suci.
Aku duduk di samping Abah hingga pukul 3 dinihari.
Lalu disuruh istirahat oleh kakak perempuanku, katanya
aku harus tidur. Hampir seharian aku belum ada istirahat. Kondisi Abah juga
sudah sedikit tenang dibanding saat serangan datang.
Aku ingat betul perasaanku ketika dibangunkan oleh Mamak
dengan nada tergesa pagi itu, Selasa pertengahan Februari. Aku menangkap nada
getir di suaranya.
Menyuruhku agar cepat bangun dan menghampiri Abah segera.
Nyawaku belum penuh, tapi badanku langsung berdiri dan
lari ke arah ruangan Abah.
Di situ aku seperti sadar awal rasanya ditinggalkan.
Aku lihat Abah sudah tenang, tidak bergeming sedikitpun.
Ku dekatkan tanganku ke sekitar hidungnya. Nihil.
Kucari denyut nadinya. Nihil.
Kupegang berkali-kali dada dan pergelangan tangannya. Nihil.
Aku tidak menangis saat itu. Tapi rasanya seperti
tersedot ke ruang hampa.
Satu persatu tetangga berdatangan, tetangga kami yang
bekerja sebagai tenaga medis pun datang untuk memastikan. Abah memang sudah
pergi.
Tepat setelah matahari naik ke langit.
Tepat setelah kakak lelakinya baru saja pulang untuk
berganti pakaian, sahabat-sahabatnya pulang ke rumah untuk meingistirahatkan
badan.
Dan tepat setelah beberapa detik kakak lelakiku keluar
ruangan memberikan sisa nasi kepada ayam di depan rumah. Nyaris di waktu yang
sangat tidak terduga, Abah memilih pergi tanpa ingin diantar.
Sepanjang prosesi mengantarnya pulang, aku tidak
menangis.
Pun saat kukecup untuk terakhir kali pipinya yang
kekuningan bersih tanpa tersirat lagi rasa sakit, aku tetap tidak menangis.
Abah sangat tenang. Wajahnya tampan bercahaya.
Aku yakin Abah sudah tidak lagi merasakan sakitnya yang
sekian tahun menggerogoti.
Beliau memang mengidap banyak komplikasi penyakit.
Dan aku baru tau ternyata tensinya sangat tinggi ketika
terakhir kali serangan.
Tapi ternyata tangisku pecah ketika menonton Tala dan
Papa Puno.
Ada banyak hal yang kusadari belum kuberitahukan pada
Abah.
Ada banyak rahasia yang ingin kubagi.
Aku ingin sekali lagi dipeluk hangat olehnya, atau
mencicipi masakannya.
Dan selama 17 tahun kami hidup bersama, aku dan Abah
tidak memiliki satupun foto berdua bersama.
Betapa ruginya aku.
Masa kecilku dihabiskan jarang bertemu dengan Abah yang
hampir sepanjang tahun bepergian bekerja di pedalaman. Kami jarang bersama.
Sekalinya tinggal bersama, Abah sakit-sakitan, jadi lebih
temperamental. Bahkan lupa aku siapa.
Bagaimana aku bisa menyampaikan semua yang belum
tersampaikan saat itu?
Tidak ada. Hingga sekarang.
Dari Papermoon Puppet aku sadar, semua yang terekam
melalui mata dan ingatan adalah kenangan yang sangat berharga.
50 menit pertunjukan tanpa jeda kuseka air mataku.
Aku begitu rindu Abah.
Sangat rindu.
Sama seperti Tala,
Masih banyak hal yang ingin kubagi bersama.
Ku tuntasi pertunjukan dengan mata yang sembab.
Tapi aku sadar kalau rasa sedih yang kutahan selama 7
tahun akhirnya tersampaikan.
Melalui peran Puno Letters to The Sky.
Sekali lagi, terima kasih Papermoon Puppet all of team.
Tidak semua rindu mampu kutahan, terima kasih sudah menjadi media atas semua pengakuan.
#PunoLetterstoTheSky #PapermoonPuppet
Komentar
Posting Komentar