Mempertanyakan perasaan.

Dini hari lepas terjaga dari tidur yang tidak begitu nyenyak, aku terbangun ketika dia pulang dengan langkah mengendap-endap. Kulirik jam, sudah bukan waktunya dia sampai rumah seperti biasa.
Tidak kusapa. Dia ikut diam saja.
Sehari sebelum itu aku muntab dan memarahinya via pesan pendek.
Sepertinya dia tahu pasti aku tengah dalam amarah.
Beberapa menit dalam diam, aku tidak tahan.
Aku mulai percakapan dengan nada tinggi karena sudah didahului emosi.
Dia menjawab semua pertanyaanku dengan sanggahan yang aku tahu jelas itu alibi.
Orang ini memang sengaja, atau tengah mencoba sejauh mana aku emosi?
Dia salah orang.
Dia membangunkan sisi buruk yang mati-matian aku simpan.

Aku kalap.


Kami beradu argumen sengit, mungkin membangunkan tetangga-tetangga sekitar kami.
Amarahku di atas ubun-ubun.
Semua respon darinya membuatku merasa diremehkan.
Aku tidak terima.
Malam itu adalah yang terburuk setelah kejadian tahun lalu.
Aku ingin menangis tapi tidak ada sedikitpun tangisan yang pecah.
Aku benci harus berselisih sangat jauh dari orang itu.
Tidak ada pelukan, tidak ada kalimat penyesalan dari kami berdua setelah gaduh di luar batas.

Aku kembali tidur sambil menahan sesak di dadaku hingga pagi.


Komunikasi kami berdua memang buruk, sangat buruk.
Tidak ada siapa yang lebih salah dari siapa.
Kami sama-sama lalai.
Merasa berhak menyakiti satu sama lain.
Padahal kami punya kesempatan untuk berkomunikasi lebih baik lagi.
Meluruhkan emosi dan hal-hal buruk dari masing-masing kami.
Tapi kami abai.

Esok harinya kami kembali berbincang, sudah jauh lebih tenang.
Benar seperti saran kakak laki-lakiku, yang bisa mengalahkan diriku adalah aku sendiri.
Bukan oleh siapa dan apa.
Aku turunkan egoku untuk menyapanya sebaik mungkin setelah perseteruan kami yang sengit.
Dia meresponku juga dengan nada yang baik.
Aku tau ada rasa tidak nyaman dalam hati kami berdua.
Kami coba mengalahkannya sedemikian rupa.

Dia mengajakku keluar mencari udara segar.
Aku mengajaknya untuk berbincang agar lebih nyaman.
Dia menyesali perbuatannya dan mencoba mengerti situasi penyebab aku emosi.
Aku menyesali perbuatanku yang melampaui batas, pemicu aku emosi.
Kami sama-sama menyesali yang berlalu dengan buruk di dini hari itu.

Aku sangat paham, tidak ada siapapun yang bisa melalui hubungan dari dua orang berbeda dengan aman dan tanpa perselisihan.
Tapi aku juga sangat paham,
tidak ada salahnya mengakui masing-masing kesalahan.
Nyatanya, kami berdua hanya ingin sama-sama merasa dihargai.
Walaupun kami kadang sama-sama menyebalkan.

Komentar

Postingan Populer