Salam Rindu.

9 November 2018.

Pagi Jumat yang basah.
Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya, setelah membereskan kandang kucing-kucingku, langsung kuraih handphone dalam genggaman.
Entah kenapa postinganmu di Instagram adalah post pertama yang aku lihat. Tanpa caption apapun.
Waktu itu baru ada 3 komentar yang bernada sama, ucapan bela sungkawa.
Aku tercekat.
Beberapa detik terdiam membaca ketiga komentar itu.
Otakku berputar cepat, lalu menelpon teman kita dari Kalisuci, Mas Amin, karena aku bingung harus menghubungi siapa lagi.
Aku menanyakan banyak hal tentangmu dengan nada suara yang bergetar.
Sialnya, Mas Amin meng-iya-kan semua pertanyaanku.
Tangisku pecah.
Persis seperti saat ini kuketik tentang kejadian sebulan yang lalu.

Dari Jogja aku berangkat berdua naik motor, sepanjang perjalanan itu juga air mataku terus jatuh tanpa jeda. Terlebih ketika motor berhenti beberapa meter jaraknya dari rumahmu, ada banyak orang yang sedang bersiap mengantarmu ke tempat peristirahatan terakhir.
Dadaku rasanya sesak sekali. Seperti ada beban ribuan kilo bersarang.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Tentu saja aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat itu.
Dan banyak pertanyaan dalam isi kepalaku.
Tempat peristirahatan terakhirmu tidak jauh dari rumah si Mbok, kami mengantarmu beramai-ramai, berjalan kaki. Di perjalanan aku berpapasan dengan istrimu yang menangis, aku tau dia amat sangat sedih sampai tidak bisa diajak berbicara sesiapa saja. Hatiku sakit rasanya melihat hal seperti itu di depan mataku sendiri.

Aku cuma bisa tertunduk menatap tanah merah yang sedikit demi sedikit menutup ragamu.
Hujan mengantarmu pulang, seolah ikut berduka sangat dalam kehilangan orang baik sepertimu.
Rasanya bukan cuma aku yang merasa sedih sedemikian rupa, ada banyak temanmu yang juga bermata sembab hari itu. Tidak perempuan atau laki-laki, entah dia muda atau sudah berumur.
Kami pulang ke rumah si Mbok, duduk di bale samping rumahmu.
Banyak cerita yang kami ulang untuk dibicarakan dan didengarkan.
Ada berbagai cerita tentangmu, dan semuanya adalah cerita-cerita dari semua teman, yang memutar kembali kenangan manis selama berteman dengan sosokmu yang rendah hati.
Kami kehilangan, Mas.
Entah hari itu aku berapa kali memaksa diriku sendiri untuk percaya bahwa kamu sudah pergi.
Sesekali kuusap air mataku yang jatuh begitu saja.

Sudah sebulan, Mas Wawan.
Sudah sebulan kamu menggenapi cita-citamu tentang ingin hidup dengan umur sekian, mati muda, persis seperti yang sering kamu ceritakan pada beberapa teman.
Kamu sudah memenuhi maumu selama hidup, tinggal di desa, memiliki rumah yang nyaman, dengan sawah dan ternak. Hidup bermanfaat buat orang lain. Melakukan banyak hal baik yang belum tentu semua orang bisa melakukannya.
Sial, sampai sekarang aku belum menemukan sisi burukmu.
Persis seperti kata Pak Win ketika kami mengobrol di gazebo Kalisuci beberapa minggu yang lalu,
“selama aku kenal Wawan, aku cari di mana kurangnya dia tapi aku ndak pernah ketemu, Cha..”
Itu benar adanya Mas.
Kami merasakan hal yang sama.

Tahun 2013 adalah kali pertama kita saling kenal, kamu adalah instrukturku yang sangat humble.
Membaur dengan semua orang tanpa batasan apapun.
Sebelum pulang dari Jogja, kamu mengantarku ke terminal dengan motor CB milik Ujay.
Di terminal Giwangan kita berpisah dan saling melepas peluk, khas darimu yang aku ingat sampai sekarang tentang cara berpisah. Aku berpesan, “Mas, kalau main ke Kalimantan, berkabar!”
Kamu cuma tersenyum sebagai jawaban.
Akhir tahun 2013, kamu mengabariku kalau kamu ada proyek kerja di Banjarmasin.
Kita bertemu di suatu sore penuh kabut. Dan akhirnya kita memilih untuk makan nasi kuning juga nasi pundut bersama teman-teman lainnya.
Setelah itu kabar demi kabar kita kirimkan hanya via pesan singkat chat personal ataupun grup.
Atau via facebook.
Tahun 2015 kudengar kabarnya kamu menikah dengan Mbak Dora, istrimu yang sama humble-nya dengan dirimu.
Kamu mengundangku untuk datang ke resepsi di pertengahan tahun 2016, aku iyakan.
Kupesankan padamu tentang doa semoga rezekiku bisa hadir di resepsimu.
Aku datang ke Jogja.
Teman-teman Kalisuci mengajakku pergi bersama ke resepsimu yang diselenggarakan malam hari.
Kamu dan Mbak Dora terlihat sumringah malam itu.
Semua orang bergembira.

Sejak aku memutuskan tinggal di Jogja, entah sudah berapa kali aku singgah ke rumahmu sekedar menjenguk si Mbok, atau Harpa, atau Pak Ndut.
Dan beberapa kali menginap di sana dengan alasan ingin bermain ke pantai.
Oh iya, kita pernah bermain layang-layang di pantai watu kodok yaa? :’)
Terakhir kali aku menginap di rumah barumu, lebaran tahun ini.
Rumahmu sangat nyaman, dengan sawah dan ladang.
Kita mengobrol banyak hingga larut malam, tentu saja aku tidak sadar itu adalah obrolan terakhir kita.
Esok harinya aku ikut dengamu naik pick up mengantar es batu ke pantai krakal.
Kita berpisah keesokan harinya ketika aku berpamitan pulang kembali ke Jogja, kamu memelukku erat dan mengucapkan, "sampai jumpa Cha, sampai bertemu lagi..."

beberapa pekan kemudian kamu sempat memintaku untuk membuatkan gambar logo Garuluku.
Dan bodohnya sampai sekarang hal itu belum aku penuhi.
Chat terakhir kita pun sudah aku hapus.
Aku tidak tau rasanya kalau semua hal sepele bisa sangat berbeda rasanya ketika akhirnya harus kehilangan.

Sekarang semua sudah berlalu begitu saja selama sebulan,
benar kata istri dan adik perempuanmu, ketika semua orang mungkin sebagian sudah bisa menerima kalau dirimu sudah pergi, ada hati yang semakin merasa duka kehilangan itu nyata.
Jujur saja, sampai sekarang aku masih sering menangisimu beberapa kali.
Ada perasaan sesak dan sesal yang tidak bisa kujelaskan lebih detail.
Apa kabarmu sekarang Mas Wawan?
Mbak Dora, Gending, Mbok, Pak Ndut, Indah, Harpa, Agam, atau orang-orang tercintamu yang lain tentu saja rindu. Akupun begitu.
Kelak bisakah kita berjumpa sekali lagi?
Akan kuseduhkan kopi sebagai teman perbincangan kita.
Aku harap kamu bahagia di nirwana.
Orang baik sepertimu pantas tinggal di sana.
Apa saat ini kamu sedang membaca blogku sambil tersenyum?






Komentar

Postingan Populer