Patah Tulang di Bulan Oktober.

Beberapa hari yang lalu kita bertengkar hebat karena masalah sepele, tapi aku terlanjur emosi tidak karuan dan berakibat fatal, terutama buat dirimu bukan? Sial. Aku tidak pernah ada niat berbuat kurang ajar.
Tidak, aku tidak ingin menyalahkan siapa di antara kita berdua yang lebih menyebalkan dalam pertengkaran hari itu, sepertinya kita sama-sama menyebalkan.
Bedanya, kamu bisa bersikap lebih baik dibandingkan aku yang kalap emosi menggila tanpa jeda hingga keesokan hari.
Sampai sekarang kalau kuingat lagi kejadian, rasa-rasanya aku masih ingat persis setiap detail memorinya. Dadaku sakit mengingat hal itu pelan-pelan.

Aku bertanya pada diriku sendiri berkali-kali, apa masih pantas kita bersama?
Sepertinya aku membahayakanmu tidak cuma sekali atau dua, terlalu sering.
Hari itu aku sampaikan pula perihal seharusnya kita memilih jalan untuk masing-masing saja, bagaimana?
Kamu menolak tegas. Katamu sejauh ini kita bergerak, kenapa aku bisa melontarkan permintaan seperti itu dengan mudah?
Aku uhm, hanya merasa tidak pantas.
Bukan tentang hal-hal yang sensitif, aku hanya merasa tidak berhak mengacak-acak kehidupanmu lebih jauh lagi.
Itu saja.

Memang, ego seorang aku sangatlah tidak bisa dibayangkan secara nalar. Sudah kucelakai dirimu hari itu, masih saja aku ingin melarikan diri dari masalah setelah kubuat masalah lainnya.
Kamu bilang, kita bisa menyusun semuanya jadi lebih baik lagi.
Kita hanya sedang berantakan, kukira saat ini.
Jujur saja, hingga tulisan ini kususun satu per satu masih ada sedikit rasa takutku tentang diriku sendiri yang bisa kapan saja meledak. Dan mungkin lain kali tidak menutup kemungkinan akan kembali mencelakaimu entah dengan cara apa. Maaf.

Apakah aku merasa karena kita sudah lama bersama lalu merasa bisa bertindak semaunya?
Aku takut ini akan menjadi bumerang yang merusak kebahagiaan yang kita temukan serpihan demi serpihan selama ini.
Aku takut merasa hidup dalam ketakutan.
Aku tidak pernah merasa takut akan meninggalkan atau ditinggalkan olehmu.
Tapi rasanya setelah kejadian hari itu, dan malam berikutnya kita di IGD Sardjito, aku tau apa alasan yang akan aku ingat selalu sejak saat ini hingga entah kapan, ada seseorang yang menerima semua busukku tanpa membalas dan membeberkannya kepada orang lain.
Kamu.

Memang tidak ada namanya sempurna, tidak akan pernah ada.
Kita pun.
Sesekali aku sadar harus lebih menghargai lagi apa arti “kita” selama ini.
Selama ini aku sepertinya terlalu menyepelekan.
Benar katamu, aku harus sedikit sadar diri.
Bukan apa-apa, karena kita adalah partner.
Selama ini aku hanya bisa membuat masalah dan bagianmu yang membereskan setiap masalahku. Selalu begitu. Aku rasa, wajar jikalau sesekali kamu kesal atau merasa tertekan.
Maaf, aku tidak punya cukup rasa rendah hati untuk mengakui setiap kesalahan-kesalahan yang kulimpahkan padamu selama ini.

Dan juga pada patah tulang tangan kiri.
Pada semua orang kamu akui itu adalah kesalahanmu yang kurang hati-hati.
Padahal sebenarnya itu semua adalah hasil dari kita yang bertikai.
Tidak ada sedikitpun kamu menyalahkanku hingga sekarang, padahal tanganmu harus dipasang gips selama kurang lebih sebulan. Semua aktivitas terhambat.
Bukankah itu bukan hal yang gampang?
Bagaimana bisa kamu begitu santai menjawab semua pertanyaan orang lain dengan jawaban yang tidak memojokkan aku sama sekali?
Bagaimana bisa kamu tetap meminta aku tinggal bersama melanjutkan apa-apa yang berantakan setelah tertiup angin besar dari amarah kita hari itu?

Aku ingat satu kalimat entah dari siapa, yang mengatakan bahwa,

“Seseorang yang menerimamu di masa terbaik mungkin biasa, tapi seseorang yang akan tetap ada di masa terburukmu, dialah yang luarbiasa. Jaga dia.”

Apakah seseorang itu kamu?

Katamu berat badanku bertambah drastis, hingga bisa membuat tulang tanganmu patah.
Bukan perihal berat badan,
Kita hanya sedang dipermainkan oleh masalah.
Semoga tulangmu segera pulih, aku rindu kau bonceng naik vespa dengan kopling di tangan kiri.
Maaf sudah menyusahkan.
Sehat selalu, Kekasih.


Komentar

Postingan Populer